May 02, 2009

NADZAR

Nadzar adalah mewajibkan kepada diri sendiri sebuah ibadah yang tidak wajib dengan menggunakan lafadz, contoh:
(Jika Allah menyembuhkan penyakitku, aku akan berpuasa selama tiga hari)
Nadzar dinyatakan sah jika dilakukan oleh orang balig, berakal, tidak ada paksaan, dan juga harus berbentuk ibadah yang menggambarkan ketaatan dan bertujuan mendekatkan diri kepada Allah swt.

Allah berfirman:
ﺇﺫ ﻗﺎﻟﺖ ﺍﻣﺮﺃﺖ ﻋﻤﺮﻥ ﺭﺏ ﺇﻧﻰ ﻧﺬﺭﺖ ﻟﻚ ﻣﺎ ﻓﻰ ﺑﻄﻨﻰ ﻣﺤﺮﺭﺍ ﻓﺘﻘﺒﻞ ﻣﻨﻰ ﺇﻧﻚ ﺃﻧﺖ ﺍﻟﺴﻤﻴﻊ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ
“Ketika istri Imran berkata, “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menadzarkan kepada-Mu anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat (di Baitul Maqdis). Karena itu terimalah (nadzar)ku. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Ali Imran [3] : 35)

Rasulullah saw bersabda:
ﻣﻦ ﻧﺬﺭ ﺃﻥ ﻳﻄﻴﻊ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻠﻴﻄﻌﻪ ٬ ﻭﻣﻦ ﻧﺬﺭ ﺃﻥ ﻳﻌﺼﻴﻪ ﻓﻼ ﻳﻌﺼﻪ
”Barangsiapa yang bernadzar untuk tetap taat kepada Allah, maka taatlah kepada-Nya, dan barangsiapa yang bernadzar untuk melakukan maksiat kepada Allah, maka janganlah melakukannya”.

Seseorang yang bernadzar untuk ketaatan kepada Allah, maka wajib baginya untuk melaksanakan nadzarnya. Apabila melanggar atau membatalkannya, maka ia wajib membayar kafarat.
Kafarat ialah semua bentuk perbuatan yang dapat menghapus dan menutupi sebagian dosa sehingga tidak ada lagi sangsi atas perbuatan dosa itu, baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Uqbah bin Amir r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
ﻛﻔﺎﺮﺓ ﺍﻟﻨﺬﺭ ﺇﺬﺍ ﻟﻢ ﻳﺴﻢ ﻛﻔﺎﺮﺓ ﻳﻤﻴﻦ
“Kafarat nadzar jika tidak disebutkan secara mendetail, digolongkan sebagai kafarat sumpah”. (HR Ibnu Maajah dan Tirmidzi)
Kafarat sumpah atas suatu pelanggaran sumpah adalah memberi makan, atau mem-beri pakaian atau memerdekakan budak, atau bila tidak mampu melaksanakan salah satu dari tiga hal tersebut, maka puasa selama tiga hari. (Al-Maidah [5] : 89)
Sedangkan nadzar dengan maksud melakukan maksiat kepada Allah tidak wajib memenuhinya, bahkan haram melakukan-nya, dan tidak ada kafarat bagi pelanggar-nya (menurut Imam Hanafi dan Imam Ahmad), akan tetapi kalangan Mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat diwajibkan membayar kafarat sebagai peringatan atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Imam Ahmad mengatakan, “Nadzar dengan hal yang mubah adalah sah, dapat dibenarkan”. Jika meninggalkannya wajib membayar kafarat.
Sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Daud menegaskan hal tersebut
“Seorang wanita berkata: ‘Wahai Rasulullah sesungguhnya aku telah bernadzar, bahwa jika engkau selamat dalam peperangan; aku akan memukul rebana untuk menyambut-mu. Rasulullah saw. bersabda, “Penuhilah nadzarmu”.

Ulama telah sepakat bahwa nadzar yang ditujukan bagi orang yang telah meninggal (wali) tidak sah dan diharamkan.
Nadzar hanya boleh dilakukan karena Allah. Orang meninggal tidak bisa melakukan apa yang bisa dilakukan orang yang masih hidup. Jika seseorang menyangka bahwa orang yang meninggal dapat melakukan sesuatu (selain oleh Allah) maka itikad tersebut telah menjadi syirik.
Barangsiapa yang bernadzar kepada syaikh tertentu yang masih hidup, dan tujuan nadzar itu hanya memberi sedekah kepadanya karena Allah, karena ia fakir, maka nadzarnya sah.
Pemberian nadzar hanya kepada orang fakir tidak kepada orang kaya, terhormat atau keturunan terhormat.

Seseorang yang bernadzar untuk melakukan shalat, puasa, membaca al-Quran atau beri’tikaf ditempat tertentu, maka ia wajib melaksanakannya dan boleh memenuhi nadzarnya di tempat yang lain. Kecuali tempat tersebut adalah Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsha maka menurut Mazhab Syafi’i harus dilaksanakan ditempat tersebut, tapi tidak demikian menurut Mazhab Hanafi yang membolehkan ditempat mana saja.

Ibnu Maajah meriwayatkan bahwa seorang wanita bertanya kepada Rasulullah saw, “Ibuku telah meninggal dunia, namun ia meninggal dunia sebelum memenuhi nadzar puasanya”. Rasulullah bersabda: “Hendaknya walinya yang melakukan puasa tersebut”.